Seorang insan, anak manusia yang terlahir dari pasangan yang begitu harmonis, bernama Piak Bari dan Usman, keluarga yang hidup dalam kesederhanaan ekonomi namun memiliki semangat hidup yang begitu kuat, walau banyaknya derita serta cobaan yang mereka arungi dalam hidup dan kehidupanNya pada masa itu.
Seorang anak yang tidak pernah bertemu bapaknya, seorang anak yang hidupnya dengan bapak tiri setelah kepergian ayahnya, beliau ditingalkan oleh ayahnya saat ibunya tengah mengandung janin adeknya, ia sendiri baru berumur lebih kurang satu tahun enam bulan setelah ia terlahir kedunia menghirup udara yang lepas bebas dan gratis ini.
Saat ia mulai remaja, ia bertanya kepada ibunya tentang bapaknya “bu…, bagaimana sosok ayah saya ?”.
Sang ibu menjawab dengan muka yang teramat sedih teriring cucuran air mata, tergambar luka yang begitu dalam, menusuk merobek hati, terkenang akan peristiwa silam yang mereka lalui bersama “nak…, ayahmu itu adalah orang yang bijak, pandai bermasyarakat, dan itu terbuktikan ketika kami bertanam padi masa itu, datanglah begitu banyak orang untuk membantu kami, ada yang membawakan kopi, gula dan bekal lainnya untuk kami santap waktu istirahat di sawah, sehingga tidak memerlukan waktu yang begitu lama dan panjang bagi kami untuk bertanam padi, bahkan sampai saat padi itu tumbuh dan besar tibalah waktunya untuk bersiang, dan orang yang banyak itu kembali datang seperti sebelumnya membantu kami hingga selesai, begitupula dikala waktunya sudah tiba untuk panen, mereka juga datang bahkan lebih banyak dari sebelumnya untuk membantu kami, coba kamu bayangkan nak, adakah orang yang dibantu oleh banyak orang bahkan orang itu bukanlah saudaranya sendiri, melainkan hanya masyarakat sekitarnya saja, tidak mungkin itu terjadi kalau orang itu bukan seorang pemimpin yang bijak dan pandai bermasyarakat, pada waktu dia masih hidup nak, Kampuang Jambu nama kampung aslinya itu masyarakat bersatu semuanya berkat bijaknya dia dalam membina masyarakat, dia sangat pemurah dan penolong nak”
Sang anak yang mendengarkan penjelasan dari ibunya itu ikut bercucuran air mata, mendengar penjelasan sang ibu, menangis terisak tersedu-sedu, nafas terasa sesak, badan terasa kaku seakan tiada bertulang lagi, beberapa saat kemudian si anak bertanya lagi kepada ibunya “apa sakitnya bu dan bagaimana ceritanya ketika ia mau meninggalkan kita untuk selama-lamanya? “
Sang ibu menjawab “pada suatu hari nak, ibu tengah hamil, mengandung adekmu yang bernama Ahmad Juni, ketika itu padi semua sudah tertanam, semua ladang sudah dibersihkan, saat itu matahari hampir tenggelam pada peraduannya, memancarkan warna kemilau jingga, berdirilah ia di atas bekas sebatang kayu mintungan sudah ditebang yang berada di dekat sawah itu, sambil melirik ke seluruh penjuru sawah dan ladang yang telah kami kuasai berdua itu, lalu ibu bertanya kepadanya “ada apa…, kok harus memanjat melihat sawah kita” lalu bapakmu menjawab “dengan sedikit lebih tinggi saya bisa melihat semua penjuru sawah dan ladang kita, semoga nanti kita diberi rejeki yang cukup oleh Allah bekal melahirkan serta untuk kehidupan kita bersama anak-anak kita yang sangat aku cintai, apalagi janin yang ada di dalam rahimu, semoga anak-anak kita bisa bersekolah dan menimba ilmu pengetahuan, agar kelak mereka berguna dan bermanfaat bagi masyarakat banyak serta mampu mengarungi liku-liku hidup yang begitu patah ini”
Mendengar seperti itu, sang anak sungguh tak kuasa menahan hiba dan kerindunya yang kian menggunung di benaknya kepada Alm.ayahnya, namun kemana hendak dicari dia sudah berpindah alam, ke alam yang tuhan hendaki, tiada satupun yang kuasa menolaknya, dengan tiada berdaya sang anak hanya bisa menangis meratapi kesedihan dalam do’a, atas kepedihan yang mereka alami pada selama ini setelah beberapa lama kepergian sang ayah.
Seiring sedih nan teramat larut dan kepediahan menyelimuti jiwa, menumbuhkan semangat yang begitu besar dalam diri si anak, untuk rajin dan selalu belajar menghormati yang tua, menyayangi yang kecil, karena dia telah merasa bahwa begitu sedihnya, begitu larutnya dalam lautan air mata kerinduan akan sosok soerang ayah, dapat kita bayangkan memang begitu dalam peraasn sedih seorang anak yang mendapatkan cerita tentang bapaknya begitu baik dimata siapapun namun tidak memiliki waktu setedikpun untuk menatap raut wajahnya, entah itu kebahagiaan ataupun kepedihan yang orang tuanya rasakan, tentulah ia sebagai seorang anak merindukan sosok ayahnya, namun apa hendak dikata, kemana hendak dicari, manuasia jauh dari kuasa, lautan tiada bertepi, sedang kekuasaan hanya milik Ilahi.
Teringat juga olehnya, kepergian Ahmad Juni, terkenang saat tiga orang anak kecil bersauda itu (Aprijon, Bulkaini dan Ahmad Juni) bermain ayunan yang dibutkan ayahnya di rumah tua yang mereka tempati itu, ibu janda beranak tiga itu tengah pergi kesawah untuk membersihkan ladangnya, ketika itu ahmad juni sibontot dalam ayunan meminta diayun oleh kakaknya sekencang mungki “bang…bisakah abang mengayun ayunan ini lebih kencang lagi, perut saya begitu sakit rasanya, mungkin dengan abang mengayun lebih kencang rasa sakitku ini terasa hilang” ujar ahmad juni kepada abangnya.
“kamu kenapa dek, inikan sudah kencang, dan jika lebih kencang daripada ini, kepalamu bisa kejedot dinding dan kamu bisa jatuh dari ayunan” jawab bulkaini.
“perut saya terasa sangat sakit bang, isi perutku terasa diaduk-aduk, akitnya tidak kepalang” kata ahmad juni yang terbungkuk kesakitan di dalam ayunan.
“jika memang begitu maumu, baiklah…bang ayun dengan lebih kencang” jawab bulkaini sambil merasa bingung karena permintaan dan sakit perut adeknya.
Bulkaini tidak tau harus berbuat apa, berbincanglah ia dengan abangnya, sambil terus mengayun sikecil yang terbungkuk merintih kesakitan.
“Bang, baiknya abang pergi menjemput ibu kesawah, aku tidak bisa melihat adek kita begini” ujar bulkaini kepada aprijon.
“Ya…bang akan pergi kesawah untuk menjemput ibu, kamu jaga adek, jangan sampai dia menangis, dan jangan dia sampai terjatuh, bang pergi sekarang” ujar kakak yang paling besar itu.
“Ya…bang, bergegaslah abang pergi, dan segeralah kembali secepat mungkin membawa ibu” permintaan bulkaini.
Aprijon langsung pergi berlari dengan secepat mungkin, tanpa menoleh menuju sawahnya yang berjarak cukup jauh dari rumahnya di Bancah Pabik.
Entah bagaima anak pertama itu diperjalanan, samapilah ia bersama ibunya dengan wajah tegang dan napas terengah-engah, mungkin dengan besarnya rasa khawatir dan ketakutan yang membuat mereka demikian,entahlah…
Ibu tiga anak itu langsung melihat anaknya yang berada di dalam ayunan, masih terlihat terbungkuk kesakitan sambil merengek-merengek.
Kamu kenapa nak, kenapa dengan perutmu, yang mana yang sakit? “tanya ibunya kepada Ahmad juni.
Perutku sakit sekali bu, jangan hentikan ayunannya, biar rasa sakit di perutku hilang “jawab Ahmad juni“
Ibu itu sangat terlihat panik dan tidak tau lagi mesti berbuat apa, ekonomi dan kehidupan berada dalam kekurangan, jangankan uang untuk membawa si anak ke dokter untuk berobat, kokon makan mereka hanya dengan rebusan ubi kayu, karena tidak memiliki uang untuk pembeli beras, tentu tidak ada nasi dirumah untuk dimakan olehnya dan anak-anaknya.
Mungkin ahmad juni sakit perut sebelumnya mengeluarkan banyak cairan, sehingga badannya lemas tiada tenaga, di tambah lagi dengan belum makan, dalam situasi ini, si ibu semakin berada dalam kecemasan dan kekhawatiran yang begitu berat, kepada siapa meminta pertolongan, orang-orang pergi kekebun semuanya, adek laki-laki ibu berumah tangga jauh di kampung, hanya ibu dan dua anaknya itulah yang berbuat sekemampuannya dalam menghadapi situasi kepanikan pada waktu itu.
Piri...,kamu pergi jemput munsu dan mak tangah sampikan bahwa Ahmad juni sakit perut “ujar si ibu kepada Aprijon yang kerap dipanggil piri“
Ya mak, saya pergi sekarang “jawab piri“
Bul...kamu jaga adek di rumahya, ibu pergi mencari bantuan dan mencoba mengirim pesan lewat orang yang bisa menyampaikan berita ini kepada pamanmu “ya...bu, saya akan menjaganya“ jawab ibul sembil menangis“
Tinggalah mereka berdua saja dirumah, sambil menunggu bantuan datang untuk mengobati sakit perutnya ahmad juni adek kesayangan bulkaini itu.
Selepas kepergian orang itu mencari bantuan, berkatalah ahmad juni kepada abangnya itu “bang apakah ibu masih lama? Karna aku sudah tidak kuasa lagi menahan sakitnya perutku ini, sungguh begitu sakit“.
Sebentar lagi ibu akan tiba sayang, kamu yang sabar ya, ada abang disini, kamu minum sayang ya“ tawaran bulkaini kepada adeknya, sambil menangis dan mencoba membujuk adeknya.
Tidak lama kemudian, datanglah aprijon dari rumah adek perempuan ibunya itu, namun dia datang dengan berlari sendiri, sehingga adek perempuan ibunya itu masih tinggal di belakang dalam perjalanan.
Kemana ibu bul ? “tanya aprijon“.
Ibu pergi mencari bantuan dan mencari orang untuk berkirim pesan kepada utiah mawi “jawab bulkaini yang sambil memberi adeknya minuman air putih“
Setelah meminum air putih yang diberikan kakaknya, sang adik yang merengek manja kepada abangnya, menanyakan tentang ibunya yang belum kunjung datang.
Bang, kok ibu belum pulang juga bang..., apakah ibu masih lama bang...., apakah kalian menyayangiku...? “tanya adek dalam ayunan“.
Mendengar pertanyaan sang adek yang tidak pernah dengan kalimat begitu, kedua sang kakak menangis terisak-isak, tersedu-sedu, dan menjawab pertanyaan sang adek.
“Ahmad juni sayang...kami lebih menyayangimu ketimbang tubuh kami sendiri, sungguh kami sangat sayang kepadamu, kami tidak sanggup melihatmu begini dek, sembuhlah sayang, takan pernah kami lelah merintang dan mengajakmu bermain bersama“ jawab sang kakak.
Iya...juni, benar yang dikatakan ibul, bahwa kami sangat sayang kepadamu, jadi jangan lagi kamu tanyakan betapa rasa sayang kami kepadamu dek “.
Hehe...aku senang mendengarnya, takan pernah kudapatkan kakak yang begitu sayang kepadaku seperti kali “jawab ahmad juni yang memaksakan senyum dalam kesakitan.
Beberapa saat kemudian sang ibu sudah kembali, pesan kepada yang sudah ia titipkan kepada seseorang untuk disampaikan kepada darmawi paman tiga bocah itu.
Sang ibu datang dengan penuh dengan air mata kekhawatiran dan ketakukan akan sakit perut si ahmad juni, ibunya teringat dengan kematian suaminya yang belum genap enam tahun, dan suaminya itu ternyata meninggal dalam keadaan sakit perut juga.
Adek perempuan ibu tiga anak itu sudah lebih duluan sampai juga berwajah sebak dan air mata yang berlinang diseputaran bola matanya hingga jatuh bercucuran melihat kondisi pada saat itu.
Beberapa saat kemudian, ahmah juni berteriak memanggil kedua kakak dan ibunya, dengan suara yang begitu pelan teriring keluh sakit yang kian tak tertahankan.
Bang...., ibu....kamarilah aku dingin, bisakah kalian menyeliputkan aku, dan hentikanlah ayunan ini“ ujar Ahmad juni“
Suasana kian memanik, namun semua patuh pada permintaan Ahmad juni, mereka segera menghentikan ayunan lalu menyelimuti ahmad juni, bulkaini menyelimutkan adeknya itu dengan kain samping, mulai dari kakinya samping itu ditari berdua dengan ibunya ke arah dada ahmad juni, ahmad juni tersenyum saat itu, begitu selimut sampai sampai di atas dadanya, ternyata pada saat itu adalah senyuman terakhir Ahmad juni, yang kuasa memanggilnya waktu itu.
Tiada lagi upaya, tiada lagi kata, tiada lagi segalanya...yang terasa hanya kesedihan dan rasa kehilangan yang begitu dalam, semua sudut ruangan hanya berisi isak tangis dan deraian air mata yang mengalir begitu deras dari tiap mereka yang berada disana.
***
Beberapa waktu kemudian sang ibu menikah lagi, pertimbangan sang ibu bahwa begitu terasa beratlah olehnya untuk menghidupi anak-anaknya seorang diri, dengan menikah lagi dan tertompang harapan pada sang suami untuk dapat membantu dalam usaha dan upaya menghidupi keluarga mereka, tentu sang ibu harus berpandai-pandai mengambil hati sang suami, agar sang suami sayang kepada anak-anaknya, waktu terus berjalan musim lalu berganti, namun anak yang bernasib malang tersulap oleh masa dan keadaan.
Seorang anak yang selalu salah di mata orang tua, sehingga dia hidup dengan hampir semua orang yang sayang padanya, berkat pandai-pandainya mengambil hati orang-orang disekitarnya, berbadan kecil mungil suara terdengar rendah merdu mendayu-dayu ditelinga masyarakat saat beliau azan di mesjid dan ditambah lagi dengan tutur bahasa yang rendah di bawah tentu banyak orang tua paruh baya yang menyukainya pada saat itu, apalagi pada saat yang bersamaan tidak banyak anak-anak seusianya yang mampu untuk berkhotbah jum’at pada masa itu, sedangkan ia sudah melakukannya.
Sehingga, masyarakat sekitar sudah menjadi seperti orang tuanya sendiri, ini menyuruh kerumah, itu meminta datang bahkan masyarakat sekeliling berlomba-lomba untuk member belanja sekolah sang anak itu, pada masa itu uang seribu rupiah saja sudah terasa cukup besar olehnya untuk dibelanjakan.
Kadang mandeh Ermi bertanya kepada si anak “nak kamu diberi berapa uang oleh mandeh Ratana?” sianak menjawab dengan lugunya “seribu rupiah” bergegaslah mandehnya yang bernama Ermi tersebut mengeluarkan uang dua ribu rupiah untuk diberikan kepada si anak sekolah tersebut.
Bertemu lagi dengan mandeh Upik, mandeh Eti, dan mandeh Nalih juga sama halnya seperti itu, berlomba-lomba member si anak sekolah itu uang belanja.
Saya teringat beliau pernah bercerita bahwa pada saat beliau hendak pergi ke sekolah yang jauh di Lubuak Landua sana melewati simpang empat dari sei.paku dengan berjalan kaki kadang-kadang dengan sepeda ontel ditempuh dengan waktu yang cukup terasa lama, sepuluh jam baru sampai di tempat beliau sekolah, di waktu lain ada seorang bapak tua bertanya kepadanya bernama datuk bandokayo sa’ik “kapan nak kamu pergi sekolah?” si anak itu menjawab “belum tau pak, karena saya masih belum cukup uang bekal untuk berangkat sekolah, sedangkan ibu tidak memiliki uang, untuk makan saja kami mesti berhutang beras kepada orang walaupun dengan berbayar dua kali lipat” dan si bapa tua itu berkata “jemurlah padi zakat yang ada di kamar mesjid itu nak, setelah itu nanti kamu jual dan ambilah uangnya untuk kebutuhan sekolahmu, sekolahlah yang rajin nak, semoga ilmumu bermanfaat buat orang banyak” tanpa basa-basi si anak itu menganggukan kepalanya sambil berkata Alhamdulillah ya Allah, terima kasih banyak pak, semoga menjadi amalah bagi kita hendaknya Amiin.
Setelah selesai menjual padi yang diberi oleh bapa tua itu, si anak yang sekarang saya tau bahwa salah seorang penggemar lagu ida laila itu, berangkat sekolah dengan riang gembira, mengayuh sepeda dengan tenaga penuh semangat, bantuan dari bapak tua itu terasa begitu besar dan berharga olehnya, sejenak terlupakan bagaimana perihnya hidup dan kehidupan yang menghimpit pundaknya untuk berdiri, mengikat kakinya untuk melangkah lebih jauh, oleh senang riang dan gembiranya bisa berangkat sekolah pada masa itu di Lubuak Landua “Madrasah Tsanawiyyah” dan tinggal bersama Syeh. Abdul Majid alias Buya Lubuak Landua di Sebuah Mesjid Tasauf Naqsabandiyyah terbesar pada saat itu, milik Syeh. Abdul Majid.
***
Pada tahun 1976, Setamatnya ia sekolah Madrsah Tsawiyah di Lubuak Landau, berangkatlah ia menuju sebuah sekolah yang di bawah pimpinan Buya Hamka kala itu yaitu Khulliyatul Mubbalighien Muhammadiyyah Padang Panjang.
Sebelum berangkat, beliau meminta izin kepada Syeh. Abdul Majid (Buya Lubuak Landua)
Buya, saya hendak pergi ke Padang Panjang melanjutkan sekolah “ujar bulkaini”
Kenapa jauh sekali kamu pergi sekolah kesana, sekolah apa? “Tanya Syeh. Abdul Majid”
Ke sekolah Muhammadiyyah “jawabnya“
Apakah kamu sudah fikirkan matang-matang? disamping tempat yang kamu tuju itu sangatlah jauh serta ajarannya hampir bertolak belakang dengan kita di dalam amalan “sela Syeh. Abdul Majid”
Justru itu yang menggugah hati saya untuk kesana, saya ingin tau seberapa jauh perbedaan kita dengannya ”jawab bulkini“
Ya...kalau memang begitu berangkatlah, hati-hati dan jangan teruslah belajar, saya mendoakanmu nak...“jawab Syeh. Abdul Majid”
Ya…buya, maafkan segala kesalahan saya selama saya disini, juga nenenk…termasuk mengambil ikan larangan pada waktu itu, yang orang lain tidak pernah mengambilnya…”pinta bulkaini”
Iya...iya kami akan merindukanmu nak, berangkatlah dengan beserta Allah “nasehat Syeh. Abdul Majid”.
Berangkatlah si anak bertubuh kecil itu menuju Sekolah yang cukup baik pada masa itu, sehingga siswanya adalah orang-orang dari sabang sampe meraoke bahkan ada juga yang dari Manca Negara lengkap disana secara kultur dan budaya.
Di balik pekatnya awan, dikelilingi hutan pegunungan, air mengalir deras dari puncak gunung ke lembah kinali, terdapat suatu daerah yang bernama durian kanda koto marapak, di sana adalah tempat bermukimnya nenek tua (Juani) bersama suaminya (Ladat) juga satu orang kakaknya (Limin dt.kayo) serta dua orang adek perempuannya.
Dari pasangan ini melahirkan tujuh orang anak, tiga orang laki-laki dan empat orang perempuan, salah satu dari empat perempuan tersebut adatah ibuku, anak ke tiga dari pasangan tersebut.
Dari ke empat anak perempuan itu tidak ada satupun yang memiliki anak laki-laki, kecuali ibuku, dan hanya ibukulah yang melahirkan delapan orang anak, tujuhnya laki-laki dan hanya satu perempuan (Delni Patri) juga anak ketiga dari pasangan ibu dan ayahku, yang kini masih tengah menjalani kuliahnya di STAIN Batusangkar Jurusan Bahasa Arab.
Pada waktu itu kami tinggal di Tangah Padang, sekitar satu kilo meter dari keramaian kampung pada waktu itu, dalam jarak itu diantarai oleh hutan belantara yang pekat padat, banyak tumbuh pohon yang begitu besar, disela-sela semak belukar, di bawah kayu-kayu besar yang menyeramkan, terdengar suara hiruk pikuk gerombolan babi hutan, disanalan jalan kami menuju rumah peladangan tempat kami tinggal, jauh dari suara orang-orang, selama kami disana yang terdengar hanyalah suara gemercik air, kicauan burung-burung, suara gerombolan kera dan monyet.
Waktu itu kami masih berempat yaitu ayah dan ibuku serta aku dan abangku, kami masih kecil, ketika ayah dan ibuku bekerja, kami bermain berdua di tengah sawah yang ternyata banyak lintahnya, sehingga aku digigitlah oleh lintah di tengah sawah, betapa jerit tangis, lari terlontang lanting kesana kemari, tenyata si lintah tak kunjung hengkang dari kakiku, yang lebih menjengkelkan lagi adalah ketika abangku tertawa terbahak-bahak melihatku kecemasan digigit lintah.
Datanglah ayah dan ibuku, ayahku segera mengambil rokoknya sebantang, lalu ia patahkan dan meremas-remas rokoknya yang diberi sedikit air, lalu ia usapkan pada kakiku yang terdapat lintah yang melengket, ternyata lintah itu langsung jatuh tak berdaya terkena air tembakau rokok ayahku seperti sosis setengah matang, aku langsung tertawa kembali ha ha ha ha sambil berkata “oh ini ya kelemahan lintah…hm”
Namun walaupun demikian aku sudah tau bagaimana menghadapi lintah sawah, aku tetap takut dan terasa geli bila melihat lintah tersebut, sehingga itu menjadi tragedy pertama dan terakhir aku digigit lintah.
Waktu terus berputar, hari berganti musim terus berganti tahun, sehingga sudah sekali ayah dan ibuku panen padi disana, namun ayahku mengeluhkan hasil panennya, bukan karena hasil panennya sedikit, panennya cukup banyak, tetapi karena hasil panen tersebut dikendalikan oleh mertuanya yang laki-laki.
Ayahku setelah selesai sekolah di Khulliyatul Mubbalighien Padangpanjang pada tahun 1980, ia menjadi guru Sekolah Dasar di Air Meruap, adalah satu-satunya sekolah yang ada daerah tersebut, kepala sekolahnya pada waktu itu adalah Alm. Bapak Yunus, bapak diberikan SK mengajar pada waktu itu, sehingga dapat peluang untuk Pegawai Negri Sipil, berita itu dibawakan oleh Jo Duan, karena Jo Duan tersebut bertugas di Lubuk Sikaping pusat kabupaten Pasaman sebelum pemekaran, sehingga segala informasi tentang kepegawaian dia termasuk orang yang pertama mengetahuinya.
Jo Duan mengatakan kepada ayah saya “Bulkaini…,kamu bisa saya bantu untuk mengurus kepegawaianmu sampai kamu menjadi Pegawai Negri Sipil, namun kamu harus menyediakan uang lima ratus ribu rupiah” dalam hal ini, ayah saya punya teman yang memiliki tujuan yang sama yaitu Syamsul Bayan.
Dengan sangat gembira Ayah saya menyampaikan berita ini kepada mertuanya dengan harapan dapat mendapatkan uang yang menjadi persyaratan pada waktu itu, namun mertuanya berkata “kita sedang tidak punya cukup uang nak, jadikanlah sawah itu lagi, tanamlah dan panenlah”.
Ayah saya menjawab dengan singkat “oh…biarlah” dalam hatinya terbersit niat akan mengadu pada orang tuanya atas keperluannya tersebut, sesampai di sei.paku di rumah orang tuanya, dia langsung menanyakab kabar ibu dan bapak tirinya, adakah sehan lalu mengatakan berita bahagia tersebut kepada keduanya, bahwasanya dia lolos Pegawai Negri Sipil, dan sang ibu bangga akan prestasi anak, lalu si anak mengatakan bahwa “syaratnya tinggal satu lagi”, dengan sedikit kerutan dikening orang tuanya bertanya “apa syaratnya?” si anak yang mengadukan berita bahagia, langsung berlinang air matanya dan menjawab “harus membayar limaratus ribu mak”.
Uang lima ratus ribu pada waktu itu menurut penilaian si anak bahwa orang tuanya memiliki kemampuan untuk uang sebesar itu, namun kecewa teramat dalam, sakit yang begitu memilukan, luka terasa terkoyak-koyak pada saat mendengar jawaban dari sang ibu yang tengah mendapingi ayah tiri itu berkata “ngak ada uang untuk itu”.
Dapat dirasakan bahwa seorang anak yang memang mencita-citakan dan selalu berupaya untuk pendidikan dari kecil, bahkan lebih banyak orang lain yang memberikan belanja sekolahnya ketimbang ibunya, namun ketika mengadukan pada orang tua untuk pencapaian yang paling membanggakan pada waktu itu, bahkan tidak diberikan, sungguh luka yang begitu dalam ia rasakan.
Semangat lumpuh seketika, upaya tiada daya, begitu banyak bisikan dalam jiwa, membawa ke banyak arah jalan bermuara, namun disanapun timbulah bimbang yang penuh keraguan, laki-laki dua anak ini diselimuti rasa gundah, dibaluti rasa kecewa yang begitu dalam, terjal lagi curam dalam pekat kelam kehidupan.
***
Seorang anak yang ingin berobah untuk lebih baik dari sebelumnya, bernama Imam ditemani oleh orang tuanya bernama Bulkaini MD menuju sebuah kota, kota yang menjadi tujuan mereka itu adalah kota yang dulunya tempat sang ayah menimba ilmu yang dinilai cukup memberikan pengaruh besar tehadapab si ayah dalam menyikapi hidup dan kehidupannya.
Dengan penuh doa dan keyakinan si ayah mengarahkan imam untuk melanjutkan sekolah disana juga, sebab ayahnya mempunyai harapan yang begitu besar kepada imam anaknya, agar mampu menjadi sosok pemimpin yang bijaksana dalam keluarga maupun bermasyarakat.
Menurut pria berbadan kecil itu, imam pasti bisa berobah menjadi lebih baik bila dia menemukan lingkungan yang baik dan bisa membuatnya merasa lebih nyaman dalam proses menjalani kehidupan sekolahnya.
Dengan sikap Imam selama ini sang ayah merasaka bahwa Imam telah memupuk rasa bosan dan jenuh sehingga menjadi tumbuh besar dalam diri ayahnya untuk tidak lagi mengurus sekolahnya namun orang tua yang baik itu tetap sabar dalam mengahdapi anaknya yang bandel.
“ Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Al-Quran Al-anfaal ayat 28).
Karena anak juga adalah sebagai cobaan dari Allah, maka suami dari ibu siti budiman ini tetap sabar dan ihklas dalam menghadapi anaknya dan terus mencoba memperbaikinya, berharap dikemudian hari anaknya menjadi seorang anak yang mampu memberikan sesuatu pengaruh dan manfaat yang baik bagi keluarga serta masyarakat di lingkungannya.
Bapak Bulkaini MD menyelesaikan sekolahnya di kota Serambi Mekkah itu pada tahun 1980 di KM (Khulliyyatul Mubalighien) PadangPanjang.
Menurut Bapak Bulkaini MD, Imam adalah soerang anak yang cukup bandel dan bijak dalam berkata, sehingga dia sering menjawab atau mencoba membantah bebarapa dari perkataan orang, dia memiliki sudut pandang lain serta dengan alasan-alasannya, namun ayahnya tidak berfikir seperti keluarga imam yang lainnya untuk tidak lagi mengurus sekolahnya imam, malah dengan sikap yang ditunjukan imam membuat pemicu sengat Bapak Bulkaini MD untuk terus dan terus melakukan sesuatu yang terbaik untuk imam.
Dalam perjalanan Bapak Bulkaini MD menyempatkan bercerita kepada imam tentang bagaimana dia menempuh hidup dan kehidupan semasa menimba ilmu di kota PadangPanjang yang disebut Kota Serambi Mekkadalam travel, namun cukup memberikan gambaran kepada imam untuk menempuh kehidupan dalam melanjutkan sekolah di kota tersebut jika nanti dia diterima pada sekolah tersebut.
Harapan yang teriring rasa gelisah akan kemungkinan-kemungkinan terus tumbuh dan menyebar keseluruh rongga benak sang bapak, beliau khawatir bahwa anaknya tidak dapat diterima pada sekolah tersebut, karena alasan-alasan yang sangat mungkin dan wajar dari pihak sekolah.
Sambil menyampaikan nasehat-nasehat pada imam, sang bapak mengucap do’a lalu mengatakan kepada imam :
“Sikap tidak bisa lebih bijak dari Fikiran, Fikiran tidak bisa lebih bijak dari Pengetahuan, Pengetahuan tidak bisa lebih bijak dari pemahaman, Pemahaman dekat dengan pengalaman”
“kamu harus borobah, berobahlah untuk lebih baik dan terus memperbaiki diri dengan demikian Allah mendapatkan alasan untuk membantumu jadi lebih baik, dan kapanpun kamu perlu bantuan, yang harus kamu sediakan hanya sebuah alasan yang ”.
Dan cobalah melihat serta mengerti alasan tuhan melahirkanmu ke dunia ini, namun apakah bisa kamu lakuan itu tanpa hati yang penuh dengan rasa syukur yang mendalam? Tentu jawabannya tidak, karena hanya rasa syukur yang mendalamlah yang mampu menimbulkan harsat, hasrat adalah keinginan yang begitu besar dari dalam hati dan hasrat itulah yang mampu memberikanmu kesabaran dalam melaksanakan proses pencapaian dari apa yang kamu hasratkan.
Robahlahlah keinginanmu menjadi Hasrat,
Dengan merobah keinginanmu menjadi sebuah hasrat kamu akan jauh merasa lebih mudah serta merasa lebih ringan dalam proses pencapian hasratmu tersebut, ketahuilah tingkat kesulitan dari proses pencapaian hasrat tersebut sebanding dengan besar atau kecilnya hasrat yang kamu miliki.
Robahlah keinginanmu menjadi Kebutuhhanmu,
Mengapa perlu merobah keinginanmu menjadi kebutuhanmu? karena apa yang kamu inginkan belum tentu kamu butuhkan, sedangkan apa yang kamu butuhkan suka tidak suka, mau tidak mau telah mengaharuskanmu untuk mendapatkannya.
Coba kita bertanya pada diri kita masing-masing betapa banyak yang hilang begitu saja keinginan-keinginan kita yang tidak tercapai, mulai dari menginginkan sesuatu yang terbaru (belum dimiliki banyak orang kita sudah dapat memilikinya), begitu juga dengan mengingin sesuatu yang sangat mahal (hanya orang-orang eksekutif saja yang mampu memilikinya) dan kesemua itu menjadi suatu kebanggaanmu jika kamu mampu untuk memilikinya segera, namun tanpa kamu sadari perpengan antara keyakinan dalam dirimu sedang bergejolak, hati dan otakmu mengatakan hampir tidak mungkin bagimu untuk mencapai apa keinginan-keinginanmu itu, maka pada saat yang sama semangat dan kepercayaan dalam dirimupun menipis bahkan hilang begitu saja, pergi meninggalkanmu dalam perasaan patah hati, dan kegalauanpun menjadi teman terdekatmu selanjutnya seakan tuhan mengabaikan segala doa-doamu, dan merasa nasib baik atau keberuntungan tidak memihak kepadamu.
Namun terkadang begitu banyak pula kebutuhan-kebutuhan kita yang terkadang sampai kita tidak menyadari bahwa sesuatu itu kita butuhkan, namun tanpa merasa terbebani, tanpa merasa terpaksa, tanpa merasa keberatan serta tanpa merasa kesulitan bahkan kita mendapatkan dan memenuhi dengan mudah apa yang menjadi kebutuhan kita tersebut.
Sekarang saya bertanya kepadamu, Seberapa seringkah kita menyadari bahwa kita sedang membutuhkan nafas kita, nafas yang merupakan kebutuhan yang teramat sangat kita butuhkan agar tetap bisa hidup, kita dapat membayangkan menggunakan fikiran hasil dari fungsi otak yang diberikan tuhan dengan gratis atau cuma-cuma kepada setiap kita, apa yang terjadi ketika kita sulit dalam melakukan upaya untuk mendapatkan atau memenuhi kebutuhan (nafas) tersebut?
Apakah kamu pernah menyadari itu dengan penuh rasa syukur atau tidak pernah sama sekali ? sebab, kamu mendapatkannya dengan begitu murah yang tanpa mengeluarkan biaya seperakpun, dan ringan tanpa mengeluarkan setetespun keringatmu serta mudah tanpa sedikitpun kesulitan untuk melakukan dan mendapatkan kebutuhanmu (nafas) tersebut.
Dengan rasa syukur yang sangat mendalam kita masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menikmatinya secara gratis atau cuma-cuma dan atas kasih sayang Tuhanlah kita tidak mengalami sedikitpun kesulitan dalam mendapatkan sesuatu yang sangat kita butuhkan bahkan menyangkut dengan nyawa kita hanya dapatkan gratis atau cuma-cuma dari tuhan.
Apakah kamu mengalami kesulitan yang begitu besar dalam melakukan upaya untuk mendapatkan (nafas) kebutuhan terpentingmu itu ? Pernahkah kita berfikir bahwa sangat tidak sebanding antara besarnya kebutuhan kita terhadap nafas tersebut ketimbang tingkat kesulitan upaya yang kita perlukan untuk mendapatkannya ? apakah kamu pernah menemukan kehebatan dan kemampuan untuk menggantikan sesuatu yang diberikan oleh tuhan denga gratis atau cuma-cuma itu ?
ketahuilah bahwa jika kamu menginginkan sesutu yang tidak kamu butuhkan maka apakah kamu bisa disebut seseorang yang bijak ? dan yang lebih hebat lagi adalah setiap kebutuhan mahluk hidup selalu dimudahkan oleh Allah SWT untuk mendapatkannya.
Begitu banyak contoh tentang kemudahan mendapatkan kebutuhan ketimbang mendapatkan keinginan, salah satunya adalah
begitu dahsyatnya sebuah hasrat karena hasrat adalah wujud dari do’a yang sesungguhnya dan tidak ada doa yang tidak dikabukan Allah, sekarang kamu sudah tau bedanya doa dengan sekedar berkata-kata, karna setiap kata bukanlah doa. jika kamu belum meliki hasrat tersebut maka itulah yang perlu kamu temukan, itulah yang perlu kamu cari karna hanya itu yang mampu mengantarkan seseorang kepada setiap pencapaian pencapaiannya. jika tidak seperti ini namanya bukanlah do’a melain hanya berkata-kata saja.
Sabar adalah Ibu segala Ilmu,
Mustahil kita bisa memiliki sabar dalam upaya atau proses pencapaian tanpa hasrat yang tumbuh dalam hati dan rasa syukur yang mendalam, karena hanya hasrat dan hati yang penuh syukurlah yang mampu menumbuhkan kesabaran.
Bagaimana mungkin sesorang bisa bersabar dalam melakukan upaya-upaya pencapian tanpa hasrat (keinginan yang begitu besar dari dalam hati), yang ada hanyalah kejenuhan, kebosanan dan kemalasan, lalu apakah kejenuhan, kebosanan dan kemalasan akan mengantarkanmu kepada apa yang kamu inginkan? Kecuali keinginanmu itu hidup tapi seolah mati, penuh dengan kegagalan, nasib buruk adalah menjadi sahabat terbaikmu karna dialah yang akan selalu setia menemani orang-orang yang tidak meliki hasrat.
Agar memiliki harsat,
Untuk memiliki hasrat kamu perlu mencari sosok orang yang mampu membuatmu kagum (orang yang baik), sehingga dengan rasa kagum tersebut maka tanpa kamu sadari bahwa kamu telah terinspirasi dan termotivasi serta mendapatkan keinginan yang lebih besar untuk mencapai keinginanmu lalu jadikanlah dia seorang panutan dalam mencapai keinginan tersebut terus pupuk keinginan tersebut agar tumbuh menjadi Hasrat.
Mendengar panjang lebarnya nasehat dari ayahnya, imam menjadi jauh lebih bersemangat untuk tetap memperbaiki diri terus dan terus menimba ilmu karena dia ingat bahwa “Perbuatan tidak bisa lebih bijak dari fikiran, fikiran tidak bisa lebih bijak dari pemahaman, pemahaman tidak bisa lebih bijak dari pengalaman”
Namun perjalanan ternyata masih cupup jauh, masih cukup waktu untuk bercerita banyak hal, imam bertanya kepada ayahnya “ ayah, sudah sampai dimana kita ini” ayahnya menjawab dengan “kamu melihat kacamata saya” lalu imam tersenyum kepada ayahnya, dan imam menoleh ke kiri terlihat seorang perempuan muda yang kira-kira sebaya dengannya.
Perempuan itu tersenyum dengan ramah, melihat senyuman ramah itu imam berfikir bahwa senyuman gadis itu cukup tulus, lalu imam bertanya kepada gadis itu “apakah kita satu tujuan yaitu PadangPanjang?” sambil tersenyum gadis itu menjawab “ oh iya, saya juga ke PadangPanjang, karena saya sekolah di sana, yaitu SMK 1 PadangPanjang, bagaimana dengan kamu?” imam sedikit berfikir mengapa dengan pertanyaannya yang singkat mendapat jawaban yang cukup panjang dan menjelaskan melebihi dari apa yang imam tanyakan, dan imam menjawab apa yang gadis itu tanyakan “ kalo saya gimana ya…bingung juga menjelaskannya, karena saya dalam perjalanan untuk mencari sebuah sekolah yang mau menerima saya” gadis itu menatap imam dengan mata yang penuh pertanyaan sehingga gadis itu mengajukan pertanyaan selanjutnya “ memangnya kamu pindah sekolah? dan apakah sudah ada sekolah yang menjadi tujuan kamu di PadangPanjang ? “ dengan tersenyum imam menjawab “ emm…ya sudah ada, yaitu KM Muhammadiyyah, apakah kamu tau dengan sekolah itu? “ bapak Bulkaini MD tersenyum melihat imam yang sedang bercerita banyak dengan seorang gadis yang duduk di sebelah imam, sang ayah berkata saya tidur dulu ya, bangunkan saya nanti ketika kita sudah memasuki kota PadangPanjang, belum imam menjawab malah gadis tersebut menjawab perkataan orang tua Imam “ ya pak, silahkan bapak istirahat, pasti bapak lelah, nanti saya bangunkan bapak dan nanti saya antarkan ke KM Muhammadiyyah” dengan senyum orang tua imam itu menjawab “ baik sekali, terima kasih nak, gak perlu repot-repot mengantarkan kami, walau sudah puluhan tahun saya tidak berkunjung ke kota PadangPanjang namun KM Muhammadiyyah masih cukup jelas di benak bapak, baiklah bapak tidur sejenak ya” gadis berbadan kecil itu menjawab “ ah tidak apa pak, silahkan istirahat pak, nanti saya bangunkan bapak” Bapak Bulkaini MD segera memejamkan matanya, imam dan gadis itu melanjutkan obrolan mereka, gadis itu mengatakan kepada imam “ saya punya guru namanya Ibu Harmoni yang juga mengajar di KM, mungkin nanti beliau juga menjadi guru kamu di sana jika kamu jadi sekolah disana” dengan sedikit terkejut imam merespon “ oh ya...apakah kamu dekat dengan ibu harmoni itu? Gadis itu menjawab “ ya saya cukup dekat, beliau wali kelas saya, ohya kita sudah sampai di padangPanjang ini, sebentar lagi kita turun, segera bangunkan bapak” dengan segera imam membangunkan ayahnya yang tengah tertidur dalam kelelahan perjalanan, sang bapak pun segera bangun lalu segera turun di depan gerbang Kantor Pengadilan yang berhadapan dengan gerbang KM Muhammadiyyah dikala itu.
Dengan sudah keluar dari travel sampailah sudah di gerbang sekolah yang menjadi tujuan Bapak Bulkaini MD yaitu KM Muhammadiyyah, orang tua Imam itu berdiri memandangi KM Muhammadiyyah dari trotoar seberang seberang jalan, tepatnya berdiri pas di depan gerbang Pangadilan PadangPanjang.
Gadis yang bersama imam memohon pamit kepada Bapak Bulkaini MD setelah bertukar nomor handphone dengan imam, dan ayah imam itu mengucapkan terima kasih kepada gadis yang ternyata bersal dari kota Solok itu.
Selepas gadis itu pergi, imam dengan sang ayah segera melangkahkan kakinya untuk memasuki gerbang KM Muhammadiyyah itu, karna pas masuk gerbang terdapat sebuah mesjid, imam dan ayahnya sholat isya dulu sebelum menuju asrama putra KM Muhammadiyyah.
Memasuki toilet pria dan segera berWudlu, air terasa begitu dingin seolah seperti air es, sambil bercanda dengan orang tua, imam berkata “ wah kalo air nya dingin begini bagaimana saya mandi pagi ini ayah, pasti saya menggigil kedingan, dengan kulit hitam begini mungkin bibir saya pun gak mau kalah untuk segera berobah menjadi warna biru karna kedinginan yang seolah menusuk sum-sum tulangku. ini benar-benar kota yang begitu dingin yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Sang ayah menjawab “ kalo disini memang airnya sangat dingin, namun akan lebih terasa dingin jika kamu tidak mandi pagi, bisa bisa kamu malah meriang, kota ini adalah kota orang bebas namun disiplin, orang yang taat beragama serta orang aktif dalam organiasai.
Ayah dan anakpun segera sholat berjamaah, imam jadi ma’mum.
Keesokan harinya Alumni Khulliyatul Mubalighien 80 itupun pulang ke Kinali Pasaman Barat dan tinggalah anak di Asrama sampai selesai sekolah Madrasah Aliyah di Khulliyatul Mubalighien.
***
KHALWAT / SULUK DI MASJID MAULANA SAYYIDI SYEKH MUDA MOH. NOER bin MAULANA SAYYIDI SYEKH DAUD AL-KHALIDI, MANGKUMANG DATAR, PASAMAN
Setelah sekian banyak hal dan perkara duniawi yang dilalui, terbitlah di relung hati keinginan untuk bertaubat melalui jalan Thariqat Naqsyabandiyah Mujaddiyah Khalidiyah.
Komentar
Posting Komentar